• About
  • Sitemap
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Donasi

Blog Mas Ajun

Menyediakan Berbagai Informasi

  • Home
  • Sitemap
  • Translate
  • Menu6
  • Berlangganan Artikel
Home » Hukum dan Politik » Nasionalisasi Aset Asing Di Era Bung karno

Nasionalisasi Aset Asing Di Era Bung karno


Dalam sejarah Republik ini, nasionalisasi perusahaan asing pernah menjadi kebijakan resmi pemerintah, yang didukung oleh kekuatan politik progresif. Itu terjadi pada masa pemerintahan Bung Karno di akhir tahun 1957. Kebijakan nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari ‘buntunya’ perjuangan mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda ke pangkuan Republik Indonesia (RI) melalui jalur diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja bundar (KMB) 1949. Pemerintahan Bung Karno memutuskan untuk menghadapi Belanda dengan cara frontal, yakni membatalkan perjanjian KMB secara sepihak.

Maka, di tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara unilateral. Namun, pemerintah masih mengusahakan perjuangan diplomasi melalui perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Hasilnya, Indonesia kembali gagal memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke dalam naungan RI dalam Sidang Umum PBB dibulan November 1957.

Gerakan-gerakan
politik progresif yang disokong oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) pun merespon kegagalan ini dengan semangat perlawanan yang menggelora. Organ-organ yang terkait dengan dua partai tersebut, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis), menjadi pelopor dalam aksi-aksi massa menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya, sebagai bentuk resistensi terhadap eksistensi kolonial Belanda yang belum terlikuidasi sepenuhnya di Republik ini.

Akhirnya, pemerintah Bung Karno pun merespon keinginan massa rakyat tersebut. Hasil rapat Kabinet Djuanda pada 28 November 1957 menghasilkan beberapa keputusan penting terkait hal tersebut, antara lain: pemerintah memutuskan untuk mendukung demonstrasi dan pengambillalihan beberapa perusahaan Belanda. Disinilah terlihat sinergi antara pemerintahan Indonesia merdeka dibawah pimpinan Bung Karno dan Djuanda dengan gerakan-gerakan rakyat progresif yang disokong PNI dan PKI guna mengakhiri kekuasaan ekonomi Belanda.

Setelah itu, pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang bergerak diberbagai sektor seperti energi dan perkebunan semakin masif dilakukan oleh SOBSI dan organ-organ progresif lainnya. Perusahaan penerbangan Belanda yang beroperasi di Indonesia, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), juga tak luput dari incaran SOBSI dan kawan-kawan.

Namun, pergolakan rakyat yang didukung pemerintah Djuanda ini diinterupsi oleh tindakan militer, khususnya Angkatan Darat/AD yang kala itu dipimpin A.H.Nasution, yang dengan gesit melakukan pendudukan terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang diduduki oleh buruh dan kaum progresif. Hampir berbarengan dengan penetapan negara dalam keadaan darurat perang (SOB) yang dipicu oleh konflik Irian Barat serta rongrongan pemberontak PRRI/Permesta, pada tanggal 10 Desember 1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selaku penguasa perang pusat mengeluarkan perintah pada penguasa militer daerah untuk mengambilalih manajemen perusahaan-perusahaan Belanda didaerahnya masing-masing. Inilah awal mula kelahiran ‘borjuasi bersenjata’ di Indonesia, yang dikemudian hari juga dikenal dengan istilah ‘militer berbisnis’ dan semakin mewabah di era Orde Baru.

Lebih parah lagi, militer kemudian menerbitkan larangan bagi organisasi-organisasi rakyat untuk melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan konflik Irian Barat, termasuk pendudukan perusahaan Belanda. Larangan ini merupakan pukulan bagi organ-organ kerakyatan yang ingin berpartisipasi dalam perjuangan mengusir kolonialisme Belanda dari ranah ekonomi Indonesia. Hal ini mirip dengan kebjiakan reorganisasi-rasionalisasi angkatan perang tahun 1948, yang juga merupakan kebijakan yang ‘diarsiteki’ oleh Nasution, dimana laskar-laskar kerakyatan dieliminasi dari angkatan perang legal ketika ancaman agresi Belanda masih menghantui nusantara.

Melihat hal ini, pemerintah Bung Karno tidak tinggal diam dan segera bertindak untuk mengimbangi keadaan. Diawal tahun 1958, pemerintah membentuk Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) untuk menertibkan proses nasionalisasi dan meminimalisir konflik diantara komponen-komponen pendukung nasionalisasi, seperti militer dengan organisasi rakyat. Selain itu, pemerintahan Bung Karno juga menolak keinginan militer untuk tetap menjadi pengendali penuh perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi. Pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1958 yang menyatakan perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi menjadi milik pemerintah RI.

Namun, militer sebagai penguasa perang di pusat dan daerah berdasarkan status SOB tidak ingin kendalinya atas perusahaan-perusahaan Belanda itu berkurang. Karena, selain menjadi simbol tegaknya otoritas militer dibidang ekonomi, pengeloalaan perusahaan Belanda itu juga menjadi pundi-pundi keuangan baru bagi militer pusat maupun daerah. Maka,dengan alasan-alasan teknis, Nasution menolak menyerahkan kendali perusahaan kepada pemerintahan sipil dalam hal ini Kabinet Djuanda. Tetapi, sebagai simbol masih ‘tunduknya’ militer pada pemerintah sipil, Nasution memerintahkan para penguasa perang daerah untuk ‘membantu’ pemerintah Djuanda dalam pengelolaan beberapa perusahaan yang telah dinasionalisasi.

Disisi lain, pemerintahan Bung Karno menyadari pentingnya dukungan militer pada pemerintah pusat dan keutuhan RI, karena pada saat itu pemerintah memang menghadapi rongrongan serius dari berbagai penjuru. Dari luar, Indonesia sedang bersengketa dengan Belanda terkait irian Barat. Sedangkan didalam negeri, pemberontakan dari dewan-dewan militer daerah yang disokong kelompok Mayumi dan Sosialis Kanan (PSI) tengah memuncak,dengan dukungan dari pihak Amerika Serikat/AS. Ditambah lagi dengan perdebatan dalam tubuh Konstituante antara kelompok Nasionalis dan Islam mengenai dasar negara, yang menambah runyam situasi Republik. Sebagian dari kemelut itu merupakan buah dari sistem demokrasi liberal yang kacau.

Dalam konteks itulah, pemerintah Bung Karno membutuhkan dukungan dari organisasi angkatan perang yang solid dan dapat diandalkan dalam menghadapi musuh baik dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, Bung Karno juga ingin mengakhiri sistem demokrasi liberal yang ‘acak-acakan’ dan menghambat tuntasnya revolusi nasional akibat munculnya subversi yang dibekingi pihak asing. Dan ternyata, militer pun memiliki kehendak yang sama, yakni kehidupan politik yang lebih ‘teratur’ dan jauh dari hingar bingar para politisi. Jadi, latarbelakang inilah yang menyebabkan pemerintah Bung karno lebih berhati-hati bersikap pada pihak militer terkait pengelolaan perusahaan hasil nasionalisasi.

Tak bisa dibantah, peran militer dalam pengelolaan beberapa ‘bekas’ perusahaan Belanda diakhir tahun 1950-an itu tidaklah berhasll, bahkan berbuah penurunan produktivitas, kerugian, inefisiensi, korupsi bahkan kebangkrutan. Penyebabnya, tentu militer Indonesia yang ketika itu baru keluar dari ‘rahim’ revolusi kemerdekaan tidaklah dididik untuk mengelola sebuah perusahaan, melainkan untuk berperang.

Hal inilah yang menjadi ‘amunisi’ bagi para teknokrat maupun ekonom neo-liberal yang anti-nasionalisasi, bahwa nasionalisasi atau pengendalian aset-aset ekonomi strategis oleh negara hanya membuahkan kegagalan dan tidak mendatangkan kemakmuran. Merekapun mengajukan bukti kegagalan nasionalisasi era Bung Karno yang tidak berhasil memajukan perekonomian Indonesia.

Tentu, pendapat semacam ini tidaklah kuat, mengingat sangat tidak ‘fair’ membandingkan kondisi Indonesia kini dengan masa tahun 1950-an. Dahulu, negeri ini memang belum banyak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cakap dalam dunia bisnis, sehingga pemerintah terpaksa memberikan keleluasaan pada militer untuk mengelola sektor ekonomi yang berhasil direbut dari Belanda. Ditambah lagi dengan situasi negara yang serba darurat karena gangguan berbagai pihak terhadap kedaulatan dan integrasi nasional.

Kini, banyak SDM Indonesia yang handal dalam pengelolaan industri minyak,gas, batubara, tambang mineral maupun perkebunan. Bahkan sebuah perusahaan minyak asing berkali-kali mengiklankan keunggulannya di televisi, dengan kalimat “80% karyawan kami adalah orang Indonesia”. Hal itu membuktikan bahwa Indonesia telah memiliki SDM yang handal guna menggerakan sektor ekonomi, termasuk mengelola perusahaan-perusahaan asing bila kini dinasionalisasi. Disamping itu, terobosan cemerlang anak bangsa melalui mobil ‘SMK’ juga bisa menjadi contoh kongkret, betapa negeri ini tak kekurangan manusia berkualitas. Maka,tergantung pada pemerintah, apakah ingin memberdayakan human capital negeri ini secara maksimal untuk mengalola aset strategis nasional, ataukah tetap membiarkan modal asing yang merebut mereka dan kemudian menguasai sumber alam negeri ini justru melalui tangan dan otak anak bangsa kita sendiri? Masih ada waktu untuk belajar dari sejarah.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20121029/nasionalisasi-di-era-soekarno.html#ixzz315dGuXCI
Posted by Unknown on Thursday, May 8, 2014 - Rating: 4.5
Title : Nasionalisasi Aset Asing Di Era Bung karno
Description : Dalam sejarah Republik ini, nasionalisasi perusahaan asing pernah menjadi kebijakan resmi pemerintah, yang didukung oleh kekuatan politi...
Tweet
Newer Post
Older Post
Home

Entri Populer

  • Cara dan 7 Tips Mendapatkan Cewek Yang Sudah Punya Pacar
  • Stylizer, Edit CSS Mudah dengan Preview Realtime
-->
Copyright © 2012 Blog Mas Ajun - All Rights Reserved
Design by Mas Sugeng - Powered by Blogger