Artikel ini saya dapat dari forum kompasiana di tulis oleh Entang Sastraadmadja
Ketika Pemerintahan Orde Baru manggung, istilah “Macan Asia” sempat
mengumandang dan tampil menjadi target dari negara-negara yang sedang
getol melaksanakan pembangunan. Negara-negara yang sudah pantas disebut
Macan Asia antara lain Jepang dan Korea Selatan, lalu menyusul Singapura
dan Thailand, setelah nya baru Malaysia dan Indonesia. Beberapa pihak
menyebut negara-negara tersebut memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi
Negara Industri Baru.
Sayang, demi fortuna rupa nya belum berpihak kepada negara kita. Gejolak
ekonomi yang melanda masyarakat menyebabkan Pemerintahan Orde Baru
tidak mampu mempertahankan posisi politik nya, sehingga tumbang dari
kekuasaan nya. Lalu lahirlah era Reformasi yang diharapkan mampu
melakukan perbaikan di segala bidang kehidupan. Ironis nya, setelah
lebih dari 15 tahun era Reformasi menggelinding ternyata segudang
harapan dan cita-cita reformasi tersebut, belum lah dapat diwujudkan
secara optimal.
Suasana ini sangat berbeda dengan yang menimpa negara-negara tetangga
seperti Malaysia dan Vietnam. Ke dua negeri ini malah tampil secara
meyakinkan dan mampu memacu pembangunan pertanian nya, sehingga
tergolong sebagai pemasuk pangan dunia yang sangat tangguh. Thailand
tetap dikenali sebagai “kampiun” nya pengembangan hortikultura. Vietnam
kini tumbuh menjadi produsen beras yang sangat sukses di panggung dunia.
Dan Malaysia pun kita tampil menjadi bangsa yang memiliki keunggulan
dan kelebihan dibanding dengan negara kita.
Kini, kembali isu Macam Asia membahana dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Dalam kesempatan tertentu Ketua Dewan
Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto selalu mengingatkan peluang dan
kemungkinan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang menjadi Macan Asia.
Prabowo optimis, status Macan Asia bukan sesuatu yang utophis. Prabowo
selalu mengatakan, “percaya dan bangun kekuatan diri sendiri.” Inilah
fondasi dari kebangkitan Macan Asia.
Atas dasar berpikir semacam ini, kita harus menjadi negara yang mampu
membangun industri mobil nasional, motor nasional, pesawat nasional
dengan prinsip kemandirian. Kita juga harus mampu memproduksi
elektronika kita sendiri. Teknologi informasi kita sendiri. Tanpa
kedaulatan di bidang teknologi, jika negara kita terus “menerima” hanya
menjadi konsumen dari produk-produk yang diproduksi oleh bangsa lain,
apakah kita “tidak menerima” saat kita disadap? Di Amerika saja pernah
ada gerakan di kongres, untuk tidak menggunakan elektronika buatan
bangsa asing untuk menjaga kedaulatan.
Pikiran Prabowo tentang Macan Asia diatas, boleh jadi akan menjadi
sangat relevan jika dihubungkan dengan isu penyadapan yang sekarang
sedang hangat diguncingkan. Kasus penyadapat orang nomor satu NKRI dan
“lingkaran satu” nya ini, kini makin menghangat setelah pihak Australia
tidak mau meminta maaf atas apa-apa yang telah dilakukan nya. Sikap
Presiden Sby “menarik” Duta Besar kita dari Australia untuk kembali ke
Tanah Air adalah bukti “perlawanan” warga bangsa terhadap Pemerintah
Australia, yang nyata-nyata melakukan pelecehan politik dan diplomatik
atas bangsa kita.
Sikap yang dikumandangkan Prabowo terkait dengan Macan Asia adalah
ungkapan seorang anak bangsa yang tetap komit dalam memelihara
nilai-nilai idealisme, nasionalisme dan patriotisme selaku bangsa yang
merdeka. Menjadi bangsa yang mandiri dalam berbagai aspek kehidupan
sekaligus profesional dalam melakoni kiprah keseharian nya, betul-betul
harus segera dijadikan prioritas kebijakan negara dan bangsa tercinta.
Ke arah sana sebaik nya kita melangkah, bila bangsa kita berkehendak
untuk tumbuh dan tampil menjadi Macan Asia.
" Saya Prabowo Subianto.
Cita-cita saya adalah Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Bangsa
yang bersih, kuat, aman, dan bermartabat. Bangsa yang berdiri di atas
kaki sendiri, berdaulat secara ekonomi dan berdaulat secara politik.
Tidak dinjak-injak, tidak menjadi budak, tidak menjadi kacung bangsa
lain"
sumber:http://sosok.kompasiana.com/2013/11/20/prabowo-dan-macan-asia-609782.html#