Mengingat banyaknya email yang masuk meminta saya untuk mengulas lebih
banyak tentang Hitler, maka kali ini saya ingin ulas lagi tentang
sejarah Nazi dan pandangan Adolf Hitler dan perwira-perwira NAZI
mengenai Islam. Bahkan dalam pasukan NAZI terdapat hampir sekitar 60.000
ribu orang muslim. Lalu sebenarnya apa yang melatar belakangi kerja
sama muslim dengan NAZI?
Banyaknya bangsa Arab dan Muslim yang membela sekutu pada perang dunia
pertama merasa telah dikhianati oleh janji-janji manis sekutu mengenai
kemerdekaan dan hak-hak mereka (bahkan sampai sekarang pihak
barat/sekutu masih membodohi masyarakat muslim). Sedangkan Jerman adalah
pihak yang kalah pada perang dunia pertama. Intinya: Mereka memiliki
musuh yang sama dengan latar belakang yang berbeda.
November 1938 sebuah surat kabar bernama Die Welt, dengan merujuk pada
artikel yang muncul di Der Arbeitsmann, menulis sebagai berikut: “Inti
utama dari artikel tersebut adalah pujian akan konsep Islam tentang
takdir, sebagai sebuah contoh komperehensif akan ide-ide tentang nasib
yang akan datang. Hal ini sekaligus pula bertentangan dengan
konsep-konsep yang diyakini oleh doktrin Kekristenan yang selama ini
berlaku.” Di pihak lain, dengan merujuk pada mingguan Berlin Fridericus,
sebuah majalah Prancis menulis bahwa “jumlah orang-orang yang masuk
Islam yang semakin meningkat sampai saat ini tak pernah menimbulkan
masalah berarti di Jerman.”
Fridericus mengklaim bahwa hal ini disebabkan oleh konsep Islam yang
“memproklamasikan prinsip-prinsip vital dari etika yang sudah terbina,
sehingga sangat mungkin untuk dikonfirmasikan.” Dengan
mengharmonisasikan ide-ide keadilan dan pengampunan, Islam telah membuat
“banyak orang-orang Nordik yang merasa tertarik dengan ajaran-ajaran
pembebasan dan keseteraan yang dikemukakannya.”
Der Welt menyimpulkan laporannya: “Orang-orang Austria yang bergabung
kembali dengan Reich mendapati bahwa di ibukota yang baru kini
berkembang penelitian dan minat yang besar akan agama Muhammad, sehingga
kita bisa melihat bertambahnya orang-orang lokal yang memproklamirkan
diri sebagai pengikutnya (seperti tercatat di laporan resmi pemerintah).
Di pihak lain, propaganda-propaganda terencana yang mendukung
ditinggalkannya ajaran-ajaran Gereja Kristen malah semakin berkembang.”
(dikutip dari buku “Nazisme et Islam” karya Omar Amin Mufti).
Dalam Perang Dunia II, Jerman berperang melawan negara-negara yang
selama ini kita kenal sebagai negara penjajah bangsa-bangsa Muslim
seperti Inggris, Prancis, Rusia dan Belanda. Hal inilah yang menyebabkan
jutaan orang Islam di seluruh dunia mendukung Hitler dan mendaftarkan
diri sebagai sukarelawan di ketentaraannya. Sebagian terbesar dari
mereka adalah orang-orang Bosnia, Albania, Chechnya, Tatar, dan
bangsa-bangsa lainnya yang berada di bawah tirani komunis Soviet. Jangan
lupakan pula unit-unit yang terdiri dari para anggota perlawanan Arab
(Freies Arabien).
Muhammad Amin al-Husseini, Mufti Besar al-Quds (Jerusalem), memimpin
perlawanan Palestina melawan Yahudi dan Inggris dari pembuangannya di
Berlin, dan mantan Perdana Menteri Irak Rashid Ali al-Gailani juga
memimpin perlawanan bangsanya dalam melawan imperialisme Inggris dari
ibukota Jerman tersebut. Terdapat pula grup-grup pelopor dari jurnalis
Arab, penulis, dan aktivis yang berjuang demi kemerdekaan negara mereka
masing-masing dari pengasingan mereka di Jerman.
Para pendukung Arab ini di antaranya adalah Dr. Fritz Grobba, seorang
veteran di Kementerian Luar Negeri dari tahun 1924 yang kemudian
bertugas sebagai Duta Besar Jerman di Irak dan Arab Saudi. Dia merupakan
seorang pengagum kebudayaan Islam yang dijuluki “Lawrence of Arabia-nya
Jerman” dan menjadi teman dekat dari al-Husseini. Setelah Perang Dunia
II usai, Grobba memeluk agama Islam dan menjadi penghubung politik
antara pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser dengan pihak Jerman dan Soviet
(Kevin Coogan, Dreamer of the Day: Francis Parker Yockey and the Postwar
Fascist International, New York: Autonomedia, 1999, halaman 383).
Tokoh lainnya adalah Werner-Otto von Hentig, teman dekat dari Grobba
yang merupakan mantan kepala Divisi Arab di Kementerian Luar Negerinya
Joachim von Ribbentrop. Setelah perang usai, dia menghabiskan sebagian
besar waktunya di Timur Tengah. Pada tahun 1955 Raja Ibnu Saud
menunjuknya sebagai kepala penasihat Eropa untuk Arab Saudi. Dahsyatnya
lagi, dia kemudian menjabat sebagai Duta Besar Jerman untuk? Indonesia!
Dalam kapasitasnya tersebut, dia menemani delegasi Saudi sebagai
penasihat khusus dalam Konferensi Asia-Afrika yang digelar di Bandung
bulan April tahun 1955. Hentig memberi nasihat pada orang-orang Arab
untuk mengadopsi kebijakan netralisme dalam politik dunia dan
mempertahankan kemerdekaan mereka dari super power dunia saat itu,
Amerika dan Rusia (Kevin Coogan, Dreamer of the Day: Francis Parker
Yockey and the Postwar Fascist International, New York: Autonomedia,
1999, halaman 384).
kebangkitan Jerman sebagai negara superpower dan pendirian divisi-divisi
Islam. Semua ini telah menyediakan sebab bagi kebijakan-kebijakan
Hitler yang sangat pro-Muslim. Hambatan utama terletak dari
diplomat-diplomat tua yang lebih memilih kebijakan konservatif demi
menenangkan kekuatan-kekuatan dunia saat itu dan tidak mengancam
keseimbangan kekuatan yang ada. Tapi disana terdapat pula elemen-elemen
muda dalam tubuh Kementerian Luar Negeri Jerman yang ingin mengambil
keuntungan dari perjuangan anti-kolonialisme yang digalakkan
negara-negara terjajah sehingga mereka mendukung adanya kebijakan
pro-Arab dalam melawan Zionisme yang didukung oleh imperialis Barat.
Tentu saja hal ini sangat klop dengan arah kebijakan yang diambil Hitler
saat itu.
Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak para petinggi Nazi dan mantan
perwira SS yang pindah ke negara-negara Arab, menjadi penganut agama
Islam, dan mempunyai jabatan militer atau birokratis di negara baru
mereka, terutama di Mesir dan Suriah (cf., Jean and Michel Angebert, The
Occult and the Third Reich, New York: Macmillan.)
Berikut ini Perwira Nazi yang memilih menjadi Muallaf :
- Erich Altern (Ali Bella) : Mantan komisioner seksi urusan Yahudi di
Gestapo yang kemudian menetap di Mesir dan menjadi instruktur para
pejuang perlawanan Fatah dalam melawan Israel.
- Hans Appler (Salah Chaffar) : Mantan anakbuah Goebbels yang kemudian
bekerja di Kementerian Informasi Inggris tahun 1956 dan kemudian
dilanjutkan dengan menjadi anggota Islamic Congress.
- Franz Bartel (Hussein) : Asisten kepala Gestapo di Kattowitz, dari
sejak tahun 1959 dia lalu bertugas di departemen Yahudi yang menjadi
bagian dari Kementerian Informasi Mesir.
- Walter Baumann (Ali Ben Khader) : SS-Sturmbannführer yang pernah
bertugas di Warsawa, dia lalu bekerja di Kementerian Peperangan Mesir
dan menjadi instruktur Front Pembebasan Palestina.
- Fritz Bayerlein : Jenderal terkenal Perang Dunia II yang pernah
bertempur bersama Erwin Rommel di Afrika Utara. Dia ikut membantu
perbaikan tank-tank kepunyaan Angkatan Darat Mesir.
- Hans Becher : Kepala seksi Yahudi Gestapo di Wina, dia kemudian
menjadi instruktur kepolisian Mesir di Alexandria (Iskandariyah).
- Wilhelm Beissner : Kepala Kantor Pusat Keamanan Reich (RSHA) yang kemudian bertempat tinggal di Mesir.
- Bernhard Bender (Bashir Ben Salah) : perwira Gestapo yang pengetahuan
mendalamnya akan Yiddish membuatnya mampu masuk ke dalam organisasi
bawah tanah Yahudi di Warsawa. Dia kemudian bertugas sebagai penasihat
satuan polisi politik di Kairo dengan pangkat Letnan Kolonel.
- Werner Birgel (El-Gamin). Perwira SS dari Leipzig yang bertugas di Kementerian Informasi Mesir.
- Wilhelm Böckler (Abd al-Karim) : SS-Untersturmführer yang bertugas di
Warsawa. Dia kemudian menjadi seorang pejabat di Kementerian Informasi
Mesir bagian urusan Israel setelah kabur ke negara tersebut pada tahun
1949.
- Wilhelm Börner (Ali Ben Keshir): SS-Sturmbannführer yang kemudian
bertugas di Kementerian Dalam Negeri Mesir dan menjadi instruktur Front
Pembebasan Palestina.
- Alois Brunner (Ali Mohammed) : Perwira SS yang memegang posisi senior
di Departemen Yahudi pimpinan Adolf Eichmann. Dia kemudian menjadi
penasihat pasukan khusus Mesir dan Suriah. Mossad (dinas intelijen
Israel) berkali-kali mencoba membunuhnya di Damaskus, yang diberitakan
sebagai tempat tinggalnya.
- Friedrich Buble (Ben Amman) : SS-Obergruppenführer bersama Gestapo
yang kemudian menjadi direktur Departemen Hubungan Masyarakat Mesir
tahun 1952 sekaligus sebagai penasihat pasukan polisi Kairo.
- Franz Bünsch: Anak buah Goebbels yang menjadi koresponden BND di Kairo
dan membantu mengorganisasikan mata uang Riyal Arab Saudi tahun 1958.
- Erich Bunzel : SA-Obersturmführer sekaligus Major dan kolega Goebbels.
Dia kemudian bertugas di departemen Israel di Kementerian Informasi
Mesir.
- Joachim Däumling (Ibrahim Mustafa): Kepala Gestapo di Düsseldorf, dia
kemudian menjadi penasihat sistem penjara Mesir dan anggota pelayanan
operator radio di Kairo. Dia dipekerjakan untuk membantu pengembangan
dinas intelijen Mesir.
- Hans Eisele : Dokter SS dengan pangkat Hauptsturmführer yang kemudian
menjadi staf medis di fasilitas pesawat dan misil Mesir di Helwan sampai
dengan kematiannya tahun 1965.
- Wilhelm Fahrmbacher : Generalleutnant dalam tubuh Wehrmacht yang
menjadi penanggungjawab Vlassov Armee di Prancis tahun 1944. Dia
kemudian bertugas sebagai penasihat militer Gamal Abdel Nasser dan
bergabung dengan staff perencana pusat di Kairo.
- Eugen Fichberger : SS-Sturmbannführer
- Leopold Gleim (Ali al-Nasher) : SS-Standartenführer di Warsawa dan
kepala departemen Gestapo untuk urusan Yahudi di Polandia. Dia kemudian
bertugas di dinas intelijen Mesir.
- Gruber (Aradji) : Teman dekat kepala Abwehr (Dinas Intelijen
Wehrmacht) Admiral Wilhelm Canaris. Dia lalu melarikan diri ke Mesir dan
bekerja untuk Liga Arab dari tahun 1950.
- Baron von Harder : Mantan asisten Goebbels yang kemudian tinggal di Mesir.
- Ludwig Heiden (Luis el-Hadj) : Perwira SS sekaligus jurnalis
Weltdienst (agen pers Jerman) yang ditransfer ke kantor pers Mesir dalam
Perang Dunia II. Setelah perang usai, dia kembali lagi ke Mesir tahun
1950 dan menulis buku-buku tentang Third Reich dalam bahasa Arab!
- Aribert Heim : SS-Hauptsturmführer yang kemudian menjadi dokter di pasukan kepolisian Mesir.
- Franz Hithofer : Perwira Gestapo di Wina yang melarikan diri ke Mesir tahun 1950.
- Ulrik Klaus (Muhammad Akbar).
- Karl Luder : Mantan kepala Hitlerjugend di Polandia yang kemudian bertugas di Kementerian Peperangan Mesir.
- Gerhard Mertins : SS-Standartenführer.
- Rudolf Mildner : SS-Standartenführer dan kepala Gestapo di Katowitz
dan Polizei di Denmark. Dia bertempat tinggal di Mesir dari tahun 1963.
- Alois Moser : SS-Gruppenführer yang bertugas di Ukraina dan kemudian
menjadi instruktur gerakan paramiliter BAJU HIJAU di Kairo.
- Oskar Münzel : Jenderal Wehrmacht yang melarikan diri ke Mesir tahun
1950 dan kemudian mengorganisasi pasukan parasut negara tersebut.
- Gerd von Nimzek (Ben Ali) : Melarikan diri ke Mesir tahun 1950.
- Achim Dieter Pelschnik (el-Said) : Melarikan diri ke Mesir usai Perang Dunia II.
- Franz Rademacher (Thome Rossel) : Direktur seksi urusan Yahudi di
Kantor Kementerian Luar Negeri Jerman dari tahun 1940 sampai dengan
1943. Dia kemudian melarikan diri ke Suriah dan bekerja sebagai jurnalis
lokal.
- Hans Reichenberg : Mantan perwira SS yang tinggal di Tangier dan
mendirikan perusahaan ekspor-impor Arabo-Afrika dan membantu
penyelundupan senjata-senjata untuk kepentingan organisasi perjuangan
anti-imperialis FLN di Aljazair.
- Schmalstich : SS-Sturmbannführer
- Seipel (Emmad Zuhair) : SS-Sturmbannführer dan perwira Gestapo di
Paris yang kemudian bekerja untuk dinas keamanan di Kementerian Dalam
Negeri Mesir.
- Heinrich Sellmann (Hassan Suleiman) : Kepala Gestapo di Ulm yang
mengabdi di dinas keamanan Kementerian Informasi Mesir sekaligus menjadi
penasihat masalah kontra-spionase.
- Ernst-Wilhelm Springer : Mantan perwira SS yang ikut membantu
pembentukan Legiun Muslim SS dan kemudian mengungsi ke Mesir setelah
perang. Dia lalu melanjutkan karirnya sebagai penyedia senjata untuk
FLN.
- Albert Thielemann (Amman Kader) : Kepala SS di Bohemia yang bertugas di Kementerian Informasi Mesir.
- Erich Weinmann : SS-Standartenführer dan kepala Sicherheitsdienst (SD)
di Praha. Dia lalu melarikan diri ke Mesir tahun 1949 dan menjadi
penasihat dinas kepolisian Alexandria dari tahun 1950.
Dan sekarang saya ingin bertanya: Kita dijajah selama ratusan tahun oleh
Belanda, dan kemudian Belanda sendiri diperangi oleh Hitler, lalu
mengapa sekarang kita berteriak menghujat Nazi dan segala sesuatu
tentangnya dengan “berpedoman” pada propaganda karbitan yang kita telan
mentah-mentah? Apakah dalam sejarahnya Nazi Jerman pernah menjajah
Indonesia? Apakah dalam sejarahnya Nazi Jerman begitu berlumuran darah
orang-orang Muslim? Jawabannya adalah: NO WAY
Yang jelas ada negara Adikuasa yang sengaja membuat berita propaganda tentang Hitler dan Pasukan Nazinya...